Awalnya, saya sangat dicurigai dan selalu diintip ketika kaki ini melangkah kemana pun arahnya. Bisik-bisik mereka agak sulit ditangkap karena beda bahasa, namun melihat roman wajah mereka semuanya berbisik tentang sepak terjang saya di daerahnya. Saya hanya bisa bersabar menghadapi hal seperti ini, meski teman-teman di kampung berpengaruh cukup kuat namun untuk hal kegiatan sehari-hari mereka adalah hal yang cukup mengganggu bagi mereka.
Tidak terasa, sudah 5 bulan saya berdiam didaerah itu, aktifitas terus berjalan mulai dari bapak-bapak dalam budidaya karet, ibu-ibu dalam pembuatan minyak lala (kelapa), anak-anak dalam kegiatan Calistung (baca, tulis, hitung) dan pendokumentasian adat dan budaya warga setempat, mereka yang tadinya curiga sedikit-sedikit sudah bisa duduk bersama di tanah gambut yang masih berair. Kadang-kadang mereka membangunkan tidur ketika jam masih menunjukkan pukul 06.02 WIB, saya hanya bisa tersenyum walau mata ini agak sulit dibuka lebar. Mereka merasa kehilangan ketika saya mendapat giliran pulang ke Bandung meski hanya 14 hari lamanya, hp sulit sekali untuk diam.
Yach, itulah hasil dari kesabaran, karena kedatangan saya pun ke situ bukan untuk mengganggu kehidupan mereka. Satu tahun sudah lewat, mereka tetap berjuang untuk menghidupi keluarganya. Dan ketika suatu hari mereka akan diliput oleh wartawan Reuters, mereka tidak keberatan karena itu adalah penghidupan satu-satunya yang bisa dikerjakan. Saya hanya bisa termenung menyaksikan mereka beraktifitas, namun dalam hati ini, saya hanya bisa berdo'a supaya mereka selalu sehat agar kehidupannya tetap terjaga juga untuk keluarganya.
Namun dalam hati yang terdalam, saya ingin mengalihkan kehidupannya yang sampai saat ini masih berlangsung ke hal yang lain, namun saya tidak sanggup untuk itu...
Sumber Photo : http://blogs.reuters.com/environment/2010/11/26/making-redd-work-for-illegal-loggers/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar